Kepemimpinan
Transformasional
Teori kepemimpinan transformasional merupakan
pendekatan terakhir yang hangat dibicarakan selama dua dekade terakhir ini.
Gagasan awal mengenai model kepemimpinan transformasional dikembangkan oleh
James McGregor Burns yang menerapkannya dalam konteks politik dan selanjutnya
ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Eisenbach, et.al., 1999
seperti dikutip oleh Tjiptono dan Syakhroza, 1999).
Dalam upaya pengenalan lebih dalam tentang konsep
kepemimpinan transformasional ini, Bass mengemukakan adanya kepemimpinan
transaksional yaitu kepemimpinan yang memelihara atau melanjutkan status quo.
Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu
proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan
yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin.
Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah
kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status
quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan
sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju
sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak
pernah diraih sebelumnya. Para pemimpin secara riil harus mampu mengarahkan
organisasi menuju arah baru (Locke, 1997).
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai
kepemimpinan yang melibatkan perubahan dalam organisasi (dipertentangkan dengan
kepemimpinan yang dirancang untuk memelihara status quo). Kepemimpinan ini juga
didefinisikan sebagai kepemimpinan yang membutuhkan tindakan memotivasi para
bawahan agar bersedia bekerja demi sasaran-sasaran "tingkat tinggi"
yang dianggap melampaui kepentingan pribadinya pada saat itu (Bass, 1985;
Burns, 1978; Tichy dan Devanna, 1986, seperti dikutip oleh Locke, 1997).
Perhatian orang pada kepemimpinan di dalam proses
perubahan (management of change) mulai muncul ketika orang mulai menyadari
bahwa pendekatan mekanistik yang selama ini digunakan untuk menjelaskan
fenomena perubahan itu, kerap kali bertentangan dengan anggapan orang bahwa
perubahan itu justru menjadikan tempat kerja itu lebih manusiawi. Di dalam
merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional
yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan
kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi
proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan
dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat
teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik
yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik
negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Bass,
1990; Bass dan Avolio, 1990; Hater dan Bass, 1988, seperti dikutip oleh
Hartanto, 1991).
Bass (1990) dalam Hartanto (1991) beranggapan bahwa
unjuk kerja kepemimpinan yang lebih baik terjadi bila para pemimpin dapat
menjalankan salah satu atau kombinasi dari empat cara ini, yaitu (1) memberi
wawasan serta kesadaran akan misi, membangkitkan kebanggaan, serta menumbuhkan
sikap hormat dan kepercayaan pada para bawahannya (Idealized Influence -
Charisma), (2) menumbuhkan ekspektasi yang tinggi melalui pemanfaatan
simbol-simbol untuk memfokuskan usaha dan mengkomunikasikan tujuan-tujuan
penting dengan cara yang sederhana (Inspirational Motivation), (3) meningkatkan
intelegensia, rasionalitas, dan pemecahan masalah secara seksama (Intellectual
Stimulation), dan (4) memberikan perhatian, membina, membimbing, dan melatih
setiap orang secara khusus dan pribadi (Individualized Consideration). Pemimpin
yang seperti ini akan dianggap oleh rekan-rekan atau bawahan mereka sebagai
pemimpin yang efektif dan memuaskan.
Ide Pokok
Kelebihan :
Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru,
beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan
oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang
sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan
yang terbaik dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky
1996). Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang
dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak(trait), gaya(style) dan
kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan
menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli
sosiologi (seperti misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya
burns 1978). Beberapa ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepemimpinan
yang mirip dengan kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang
karismatik, inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun
terminologi yang digunakan berbeda, namun fenomena-fenomena kepemimpinan yang
digambarkan dalam konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada
perbedaannya. Sarros dan Butchatsky (1996) menyebut kepemimpinan
transformasional sebagai penerobos (breakthrough leadership). Disebut sebagai
penerobos karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa
perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun
organisasi dengan jalan memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri
individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses
dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara
yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk
merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin
dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang
mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai
hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang
metanoia, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu memciptakan
pergeseran paradigma untuk mengembangkan praktek-praktek organisasi yang
sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan. Metanoia berasal dari kata
Yunani, meta yang berarti perubahan, dan nous/noos yang berarti pikiran. Dengan
perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar
dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition).
Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global (global
game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu, perusahaan
sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus mentransformasi
seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan dengan kondisi
persaingan baru. Pemimpin transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang
tepat dan yang mampu untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas,
dan inovasi usaha guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
Kelemahan
:
kepemimpinan transformasional
dikritik kekurangan keprihatinan bagi moralitas dan etika. Sebagai contoh, Bass
dan Steidlmeier (1999) mengkritik kepemimpinan transformasional pseudo dan
menyarankan bahwa kepemimpinan transformasional otentik harus benar untuk diri
sendiri dan orang lain dan harus didasarkan pada nilai-nilai etika dan pondasi
moral.Sankar (2003) menyarankan bahwa karakter pemimpin didasarkan pada
nilai-nilai seperti integritas, kepercayaan, martabat manusia, yang
mempengaruhi Visi pemimpin, etika, dan perilaku, daripada karisma, harus
menjadi ukuran kritis keunggulan kepemimpinan. Graham (1991) mengkritik bahaya
moral atau tidak adanya moral perlindungan kepemimpinan karismatik dan pengikut
mungkin tidak ingin menjadi "intelektual dirangsang, "dan tidak ada
pembenaran diberikan dalam 'model Bass seperti mengapa orang harus dikembangkan
lebih jauh dari mereka benar-benar ingin. Tidak ada dalam kepemimpinan
transformasional Model mengatakan pemimpin harus melayani pengikut untuk
kebaikan pengikut. Meskipun kemudian etika / moral berdasarkan teori
kepemimpinan, seperti kepemimpinan dan hamba pelayanan yang membuat pengorbanan
diri untuk melayani pengikut dan kebaikan bersama, mengaku sebagai
pengikut-teori kepemimpinan yang berpusat dan pergi di luar kepemimpinan
transformasional (berdasarkan teori kepemimpinan-nilai) dengan menambahkan
moral atau etika dimension masih belum jelas apakah kepentingan pribadi,
egoisme, atau altruisme pada bagian dari pemimpin tidak hadir atau tidak
(Avolio & Locke, 2002; Yukl, 1999). Yukl, 1999). Artinya, motif di balik
perilaku pemimpin harus memainkan peran mendasar dalam proses kepemimpinan
tetapi diabaikan dalam teori-teori kepemimpinan yang masih ada.
Penerapannya terhadap
perpustakaan SMP N 1 Mojolaban
Kepemimpinan
transformasional sangat cocok jika diterapkan di perpustakaan SMP N 1
Mojolaban, karena pemimpin semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa
perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun
organisasi dengan jalan memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri
individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses
dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara
yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk
merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin
dilaksanakan. Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang
mendasar dan besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai
hasil-hasil yang diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang
metanoia, dan dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu memciptakan
pergeseran paradigma untuk mengembangkan praktek-praktek organisasi yang
sekarang dengan yang lebih baru dan lebih relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar