Jumat, 27 April 2012

Resensi film agora



AGORA
Kisah Filsuf Perempuan Perpustakaan Alexandria

“Saya Flavius Theodosius Augustus, Kaisar dan kepala tertinggi dari provinsi-provinsi Orient, telah menerima laporan dan peristiwa yang terjadi di kota Alexandria belum lama ini. Dengan ini menyatakan dan memerintahkan agar pelanggar hukum diampuni dan dibebaskan. Sebagai pertukaran dan kemurahan hati saya para pelanggar akan meninggalkan sarapheum dan perpustakaan secepatnya. Memperbolehkan umat Kristen memasuki dan membuang apapun di tempat itu jika dirasa perlu”
Mendengar pengumuman Kaisar itu, Theon Kepala Perpustakaan Alexandria dan putrinya Hypatia saling memandang. Pikiran mereka bertemu pada satu titik:buku.
Maka segera sebelum pintu gerbang jebol oleh massa umat Kristen mereka bergegas ke perpustakaan menyelamatkan naskah-naskah dan manuskrip yang bisa diselamatkan.
Terlalu sempit waktunya. Terlalu sedikit tenaga untuk mengangkut. Terlalu banyak buku yang mesti diselamatkan. Tak lagi bisa memilah mana yang penting dan yang tidak. Yang nampak oleh mata dan teraih oleh tangan saja yang mampu dibawa serta. Kaum Pagan harus segera menyelamatkan diri.
Hypatia, filsuf perempuan Alexandria yang disegani itu hanya mampu menahan amarah dan kesedihan. Perpustakaan tempat ia menabur dan menanam ilmu pengetahuan di ambang kemusnahan. Orang-orang Kristen menerobos masuk ke Sarapheum tempat kaum Pagan bertahan. Mereka menyerang dengan brutal. Menghancurkan apa saja yang mereka tak suka. Termasuk buku-buku sumber ilmu pengetahuan.
Di perpustakaan itulah Hypatia biasa mengajar murid-murid dari kalangan elit istana kaum Pagan. Ayahnya sebagai Kepala Perpustakaan Alexandria memberinya hak khusus untuk itu. Hingga karena kecerdasan dan kecantikannya. dua orang laki-laki jatuh cinta padanya: muridnya Oreste dan Davus, budaknya.
Saat itu, situasi politik di Alexandria sedang memanas. Umat Kristen menyudutkan kaum Pagan sebagai penyembah berhala yang tak rasional. Kekuasaan Pagan pun tumbang dan Kristen mendominasi. Agora, ruang pertemuan majelis Alexandria pun menjadi incaran kekuasaan. Yahudi dan Pagan terus bertahan melalui negosiasi dan kesepakatan-kesepakatan.
Ditengah kesemrawutan politik, Hypatia terlibat dalam posisi netral atas nama kemanusiaan. Ia tak memperdulikan keyakinan beragama, baginya kekerasan tak boleh ada. Meskipun ia seorang perempuan, tapi karena kedudukannya sebagai filsuf, Hypatia sangat dihargai. Ia bisa melihat siapa yang haus kekuasaan dan bersembunyi di balik jubah agama. Orang-orang itu menggunakan segala cara untuk meraih keinginannya. Itupunun bila harus dengan kekerasan. Dan itu ditentang Hypatia.
Dalam pertentangan politik yang meruncing, Hypatia tak hentinya belajar. Ia seorang pemikir dan demikian mencintai matematika pula astronomi. Ia memikirkan terus menerus tentang kebenaran pusat dari jagad raya. Ia tak berhenti berpikir dan mencari kebenaran logika. Hingga kemudian ia menemukan bahwa pergerakan bumi mengelilingi matahari dalam suatu lintasan yang berbentuk elips. Dasar astronomi inilah yang nantinya dikembangkan oleh Galileo Galilei & Johannes Kepler pada abad ke-16 dan 17.
Politik selalu berorientasi kemenangan dan penguasaan. Penghalang menuju arah itu akan serta merta disingkirkan. Hypatia dianggap sebagai tokoh yang menghalangi maksud para lelaki haus kekuasaan. Maka ia pun disingkirkan dengan keji. Tubuhnya dimutilasi dan sisanya diseret ke jalan lalu dibakar. Kaum Kristen menuduhnya wanita penyihir, dengan dalih:
Surat pertama Paulus kepada Timotius. “Oleh karena itu aku ingin supaya dimana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci. Tanpa marah dan tanpa perselisihan. Demikian juga hendaknya perempuan, hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan dikepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara, atau pakaian yang mahal-mahal. Tetapi hendaklah dengan perbuatan baik. Seharusnya perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh. Aku tidak mengijinkan perempuan mengajar, dan juga tidak mengijinkannya mereka memerintah laki-laki. Hendaklah ia berdiam diri.”(Diana AV Sasa)
Judul Film: Agora
Genre: Drama/Sejarah/Romansa
Sutradara: Alejandro Amenábar
Skenario: Alejandro Amenábar dan Mateo Gil
Produksi: Newmarket Films (2009)
Pemain: Davus (Max Minghella), Oreste (Oscar Isaac), Ammonius (Ashraf Barhom), Synesius (Rupert Evans), Theon ( Michael Lonsdale), Aspasius (Homayoun Ershadi), Cyril ( Sammy Samir) Hypatia (Rachel Weisz)
Durasi: 127 menit


Agora: Kisah Perempuan Yang Haus Pengetahuan
Agora adalah nama sebuah kota di Alexandria, bagian utara Mesir, yang diduduki umat Kristiani. Konon saat itu (pada abad ke-4 setelah Masehi), umat Kristiani gagal menjalankan apa yang dikatakan firman Tuhan di Alkitab. Hal ini dikarenakan arogansi kaum Kristiani yang merasa paling benar. Banyak kaum minoritas seperti orang Yahudi dan kaum intelektual yang prinsipnya bertentangan dengan mereka, dibantai secara massal.
Cerita dihidupkan melalui peran Hypatia (Rachel Weisz) yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan. Ia berusaha keras ingin memecahkan misteri bagaimana sebenarnya posisi matahari dan bumi. Namun, prinsipnya yang begitu memuja ilmu pengetahuan dan tidak sejalan dengan kaum Kristiani membawanya ke dalam situasi marabahaya. Bahkan posisinya, sebagai
wanita yang dikasihi Orestes(Oscar Isaac), tokoh politisi yang berpengaruh di kota Agora, tak dapat menolong Hypatia keluar dari situasi tersebut. Bagaimanakah akhir perjalanan hidup Hypatia? Berhasilkah ia menemukan misteri alam tersebut?
‘Agora’ merupakan film kolosal produksi Spanyol dengan anggaran terbesar mencapai US$ 70 juta. Anggaran besar ini karena produser harus membangun set kota Agora yang megah di Kepulauan Malta.
Rachel Weisz berhasil menghidupkan peran Hypatia sebagai tokoh wanita ahli matematika dan astronomi yang berpengaruh terhadap ilmu pengetahuan kita. Walaupun sebenarnya sangat sulit mendapatkan sejarah mengenai Hypatia, namun di tangan sutradara handal Alejandro Amenabar (yang juga menulis skenario), ‘Agora’ seakan-akan mampu menghidupkan kisah sejarah yang sudah lama berlalu.

Pendapat saya tengtang film ini,
Pertama kita bisa belajar tentang rasa memiliki sesama, belajar kesuksesan. Dimana di film ini mengajarkan kita kesuksesan bukanlah bagaimana kita bisa menikmati dipuncak teratas apa yang telah kita cari dengan susah payah kita, tetapi kesuksesan adalah  bagaimana kita bisa melihat orang- orang diantara kita dan yang nanti akan hidup didunia ini bisa merasakan, menikmati, dan meperluas apa yang kita miliki saat ini.
Yang kedua perjuangan untuk kebaikan dan ilmu pengetahuan harus kita jaga, rawat dan ditumbuh kembangkan, tak memandang perbedaan yang kita miliki, karena nantinya ilmu pengetahuan yang benar inilah yang akan menyatukan kita dalam kebersamaan.
Tak seperti yang ada dimasa saat ini, guru,dosen, kiyai dan para orang – orang besar hanya berkedok dengan jubah- jubah indah mereka, menekankan pada diri kita betapa pentingnya ilmu pengetahuan, namun mereka hanya mengajarkan kepada kita sebatas yang dia tau dengan jelas, yang mereka lupa, yang mereka belum tahu tidak pernah sama sekali mereka berusaha untuk tahu dan diajarkan kepada kita, karena semuanya dirasa sudah pantas dengan materi – materi yang sudah mereka dapatkan, dan itu sudah menjadi tujuan meeka.
Sehingga yang bisa kita rangkum ialah dimana saat ini kita berada dibawah orang – orang bodoh yang mengaku bisa menjadikan kita lebih baik.
Terakhir yang bisa saya simpulkan ialah, mari kita yang telah menetapkan diri sebagai seorang pustakawan beranikan diri dan berjuang untuk memajukan dunia dengan kita menyajikan informasi – informasi yang benar, jelas dan kita sajikan sama rata tanpa melihat perbedaan. Hanya itu yang kita bisa untuk generasi nanti untuk lebih baik.

posted by Dody Setiawan (D1810022)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar